Pages

Kamis, 31 Januari 2013

Karangan Bunga untuk Kakak



 

  

   “I
jinkan Mama mengirim SMS ini sayang, kau tak harus selalu merasa bersalah, selama ini kau tak pernah memperbolehkan Mama menyuruh adikmu pulang saat kau sakit, biarlah kali ini adikmu pulang nak..”
Meski lemah, gadis itu tetap berusaha mengumpulkan energinya.
“Tapi Ma.. Jelita pasti sedang mengurus proyek barunya. Jelita sangat menginginkan proyek ini. Jika Jelita pulang sekarang....”. Gadis itu terbatuk lagi. Darah segar mengalir di ujung bibirnya. Dia belum menyelesaikan kalimatnya. Perempuan setengah baya disampingnya yang sejak tadi terus meneteskan air matanya membersihkan darah yang keluar dari bibir manis anak sulungnya. Kembali terisak. Dokter yang sejak seminggu yang lalu merawatnya bergegas mendekat dan memeriksa pasiennya. Memintanya untuk beristirahat. Tapi tak dihiraukan.
“Jika Jelita pulang sekarang, itu akan mengacaukan proyeknya. Aku tak ingin mengacaukan itu Ma..” Gadis itu melanjutkan kalimatnya, lemah. Sekali lagi terbatuk. Sekali lagi darah segar itu mengalir di ujung bibirnya jika ia berbicara. Perempuan paruh baya itu perlahan mengelus rambut gadis lemah itu.
“Jelita juga pasti memilih menemuimu sayang. Ijinkan Mama. Dengarkan permintaan Mama mungkin untuk yang terakhir sayang”. Perempuan itu mencium kening anaknya. Penuh kasih. Perlahan gadis itu menganggukkan kepalanya. Menurut. Terpejam. Terlelap.
Dengan gemetar jari itu memencet tombol OK. Berharap pesan itu cepat sampai kepada anak bungsunya.
“Cepatlah pulang nak, kakakmu kesepian, kakakmu sangat merindukanmu. Mungkin ini untuk yang terakhir kali. Pulanglah secepatnya.”
***
            Seorang gadis berdiri di pantai yang berpasir putih, menikmati indahnya ciptaan Sang Maha Pencipta. Menikmati lukisan alam yang sangat ia kagumi. Sesekali ia menghirup udara dan menghembuskannya keras-keras. Terkadang gadis itu melempar kerang-kerang yang ada disekitar kakinya lalu melemparkannya jauh ke tengah laut. Tertawa, senang, riang hatinya seperti tanpa beban. Bukan, ia tersadar bukan untuk liburan ia datang ke pantai itu, ia datang untuk pekerjaannya.
            Gadis manis itu mulai mengeluarkan kamera tua dari tas kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Walaupun gadis itu punya cukup uang untuk membeli kamera baru keluaran terbaru dengan kualitas yang pasti lebih bagus dari kamera tua miliknya, tapi ia urung melakukannya, karena kamera itu adalah satu-satunya peninggalan mendiang papa untuknya. Karena kamera itu, sekarang ia ingin menjadi seorang fotografer profesional. Gadis itu baru bersiap memotret sunset saat seseorang memanggilnya dari belakang.
            “Jelita!! Udah belum fotonya? Kalo udah fotoin gue ya sekali-kali ga papa kan.. “
            “Ogah ah.. mending fotoin monyet dari pada foto kamu!”
            “Ah.. lo gitu sih.. tega ama temen sendiri. Eh pelupa.. lo lupa ga bawa HP kan. Karna gue baik hati nih gue bawain HP lo.”
            “Oh iya.. makasih Venny sayang.. Eh ada sms dari mama nih.. tumben...”
            “Ya buka aja kale.”
            Jelita mendadak cemas setelah membuka sms dari Mamanya. Wajahnya yang tersenyum manis berubah cemas. Gadis manis itu langsung pergi meninggalkan sahabatnya tanpa mengucapkan apapun dan kemudian berlari menyusulnya. “Eh.. Litaaaa!!! Lo mau kemana kok gue ditinggal sih..!!!!” kata Venny kesal.  
            “Aku harus pulang sekarang Ven” jawab Jelita datar.
            “Tapi kenapa lo tiba-tiba pengen pulang, si Luna model cantik yang lagi tenar itu bakal dateng bentar lagi, ini kesempatan besar buat lo Lit”
Jelita menghentikan langkahnya. Menunjukkan pesan singkat dari mamanya. “Coba kamu baca.. udah lama aku ga pulang Ven, aku cemas dengan kakakku, mama ga mungkin sms kaya gitu kalo ga ada apa-apa sama kakakku Ven”. Jelas Jelita akhirnya.
            “Lo beneran yakin mau pulang sekarang Lit?”. Tanya Venny simpati. Jelita menganggukkan kepalanya meyakinkan.
            “Ya udah, gue ngerti, biar nanti gue yang jelasin ke managernya Luna, siapa tau gue boleh gantiin lo untuk sementara.”
            “Makasih Ven, kamu memang sahabatku yang paling baik”. Kedua sahabat itu saling tersenyum.
            “Hati-hati Lit, sampaikan salamku untuk kak Juwita dan tante Rahma, maaf gue ga ikut lo pulang dan ga bisa nganter lo sampai bandara”. Ucap Venny menyesal.
            “Pasti. Ga pa pa kok, sekali lagi makasih Ven”. Gadis itu berlalu meningggalkan sahabatnya. Meninggalkan Venny yang terpaku meliahat sahabatnya pergi.
***
            Jelita bergegas menuju bandara dan berharap segera sampai di rumahnya dimana mama dan kakak yang amat ia sayangi menunggunya.
            “Maaf, penerbangan ke Solo hari ini sudah penuh. Apakah anda menginginkan penerbangan untuk besok pagi?”
            “Benar tidak ada mbak?? Coba tolong cek sekali lagi, saya harus ke Solo hari ini juga. Kelas apapun, berapapun asalkan malam ini juga mbak”. Ucap Jelita setengah memaksa.
            “Baik, tunggu sebentar. Ada satu kursi di kelas ekonomi yang mungkin akan dibatalkan, apakah anda berkenan untuk menunggu konfirmasi dari orang tersebut?”
            “Iya  mbak, usahakan ya mbak. Saya mohon.” Jelita berharap.
Gadis manis itu duduk dengan cermas di kursi tunggu. Pikirannya melayang ke kampung halamannya. Dia memikirkan saat-saat bahagia bersama kakaknya sewaktu ia masih kecil dulu.
            Pagi itu adalah pagi yang cerah, Jelita dan Juwita bermain di taman belakang rumahnya yang cukup luas. Mereka bermain masak-masakan. Mereka menggunakan berbagai macam dedaunan yang ada di sekitar taman tempat mereka bermain.
            “Jelita... jangan petik daun yang itu. Itu tanaman kesayangan mama, nanti kalo mama tahu pasti kita dimarahin mama.”
            “Nggak papa kak, Jelita kan cuma ambil sedikit, mama juga nggak akan tahu, kita nggak akan dimarahi kak.” Si adik tetap ngeyel tidak mau mendengarkan nasihat kakaknya. Dan saat Jelita kecil memetik daun dari tanaman kesayangan mamanya, mamanya datang untuk memberikan minum kepada anak-anaknya.
            “Jelita..!!! kenapa kamu petik daun dari tanaman kesayangan mama?? Itu kan tanaman dari sahabat mama!!” mamanya hampir marah melihat apa yang terjadi dengan tanaman kesayangannya.
            “Ma..maaf ma.. Jelita hanya petik sedikit kok, jangan marahi Jelita ma.” Ucap Jelita terbata. Gadis kecil itu takut. Jelita kecil menangis meminta mamanya tidak marah padanya.
            “Kamu ini sungguh keterlaluan, sudah berapa kali mama bilang...” kata-kata itu terhenti saat Juwita kecil memotong kalimatnya.
            “Ma.. jangan marah sama Jelita Ma, Juwita yang salah daun itu, Juwita yang suruh Jelita petik daun itu buat kita main masak-masakan. Jangan marah sama Juwita ya Ma..”
            Gadis manis itu meneteskan air matanya mengenang kakaknya yang selalu membela dan melindunginya. Bayangan-bayangan masa lalu itu terus berkelibat difikirannya seperti memutar film. Gadis itu menyeka butir bening di ujung mata indahnya. Gadis itu teringat saat ia masih kecil saat ia dan kakaknya bermain di taman belakang rumahnya.
“Kakak.. maafkan Jelita.. Jelita belum bisa cepat sampai rumah.. tunggu Jelita kak.” Ucapnya lirih. Kembali gadis  itu menyeka air matanya.
            “Nona Jelita.” Sebuah suara memanggil namanya. Meyadarkan gadis itu dari lamunannya.
            “Iya. Bagaimana mbak? Apa kursinya kosong? Apa orang itu membatalkan penerbangannya?” Gadis itu bertanya cemas, berharap orang yang dimaksud benar-benar membatalkan penerbangannya.
            “Selamat mbak, orang tersebut membatalkan penerbangannya. Ini tiket untuk anda dan silakan menikmati penerbangan kami.” Perempuan cantik dibalik meja tiket itu tersenyum manis. Membuat lega perasaan Jelita.
            “Terima kasih mbak. Saya sangat berterima kasih” Ucap gadis itu dengan senyum manisnya dan air mata masih membasahi pipinya. Lalu pergi.
            Sepanjang perjalanan Jelita masih memikirkan semua kenangannya bersama kakaknya. Bahkan awanpun serasa membentuk wajah kakaknya. Semua kenangan yang membuatnya selalu meneteskan air mata mengingat betapa kakaknya sangat menyanyanginya dan rela memberikan apapun yang ia miliki untuknya. Gadis manis itu terus menangis hingga ia terlelap, ia terlalu lelah untuk hari ini.
***
            “Apa Juwita tidur lama ma? Apa Jelita akan pulang ma?” Juwita bertanya lirih.
            “Iya sayang, kau tidur nyenyak sekali, tentu saja adikmu akan pulang, tunggu adikmu ya” mama menjawab pelan, tersenyum menatap putri sulungnya, tetap disamping anaknya sejak enam jam setelah ia mengirimkan pesan kepada anak bungsunya.
            “Ma.. Juwita haus..” lirih suara  itu terdengar.
            “Iya sayang, minumlah..” Mama meneteskan air matanya lagi seraya mengambilkan gelas air minum dan meminimkannya kepada anaknya.
            “Terima kasih ma.. Kapan Jelita akan sampai ma?? Juwita takut... uhhuukkk” suara lemah itu tertahan oleh batuk dan darah itu lagi-lagi menetes dari ujung bibir manisnya. Bertambah parah.
            “Tidak ada yang perlu kau takutkan sayang, Adikmu akan datang sebentar lagi..” Mama tak sanggup menahan air matanya yang terus mengalir sejak tadi. Wanita itu cukup lelah karena sudah tiga hari tidak tidur menunggu anak sulungnya yang sakit parah, gadis itu sudah cukup menderita menahan kanker paru-paru sejak lima tahun yang lalu, dan saat ini sudah mencapai stadium IV, bahkan dengan operasi pun belum tentu menolong nyawanya. Sejak dulu Juwita tidak pernah bersedia untuk melakukan operasi. Tiba-tiba bunyi telepon genggam milik wanita paruh baya itu berdering, memecahkan keheningan. Panggilan dari anak bungsunya, Jelita.
            “Ma.. gimana kak Juwita?? Dia baik-baik saja kan?? Jelita usahain cepat sampai rumah.. Jelita baru turun dari pesawat. Tolong bilang sama kak Juwita.. tunggu aku sebentar lagi”. Gadis manis itu berlari menuju tempat taksi dengan air mata terus mengalir dipipinya, ia sangat khawatir jika terlambat bertemu dengan kakaknya.
            “Cepatlah datang sayang,, kakakmu sepertinya bertambah parah.. dia menunggumu. Hati-hati.” Ucap Mama singkat kepada anak bungsunya.. Tut. Sambungan telepon terputus.
            Mama benar-benar tidak tega melihat anaknya yang terbaring lemah dengan alat-alat medis disekelilingnya. Selang infus, selang oksigen. Mama seperti merasakan betapa menderita anak sulungnya dengan berbagai peralatan medis itu. “Ya Allah.. Jika memang kau ambil nyawa anakku, ambillah Ya Allah.. hamba ikhlas.. jangan kau berikan anakku penderitaan seperti ini, jika memang harus menderita, biarlah hamba yang menderita sakit ini Ya Allah”. Tiada henti Mama mendoakan anaknya. Masih. Butiran bening masih terus mengalir dipipi wanita itu. Dokter dan perawat yang menjaga Juwita ikut meneteskan air mata menyaksikan adegan mengharukan dihadapan mereka. Betapa tulus kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Betapa dekat ikatan diantara keluarga kecil itu.
***
            “Ma.. Jelita sudah datang??” suara lemah itu terus menanyakan adik yang teramat disayanginya disaat ia terbangun dari tidurnya.
            “Iya sayang.. adikmu sebentar lagi akan datang.. dia akan segera sampai disini.. di sampingmu..” lembut Mama berkata kepada Juwita.
            Dari luar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka.
            “Itu... adikmu datang sayang..” Mama tersenyum lega. Begitu pula gadis manis yang terbaring lemah itu. Ia senang adiknya yang ia tunggu sejak kemarin akhirnya datang sebelum ia pergi.
            Dari luar Jelita berlari menuju kamar kakaknya. Langkahnya terhenti persis di depan pintu kamar kakaknya. Air mata langsung mengucur deras dipipinya melihat kondisi kakaknya yang terlihat jauh dari sehat. Peralatan medis, selang infus, oksigen disekeliling kakaknya. Dia berjalan lemah dan duduk di samping kakaknya. Menyentuh punggung tangan gadis lemah itu, menciumnya. “Kau sudah datang Lita, kemana saja kau.. pasti kakak mengganggu proyekmu ya.. maafkan kakak sayang..” gadis lemah itu berusaha kuat dan terdengar ceria dihadapan adiknya. Mama hanya melihat dari sudut kamar dan terisak.
            “Tidak kak.. kakak tidak perlu minta maaf.. Lita kan mendapatkan proyek itu lagi lain kali. Lita hanya ingin bertemu dengan kakak” Gadis itu berkata sambil tersedu. Ia tak dapat membendung air matanya didepan kakaknya. Walaupun begitu ia lega karena ia tidak terlambat. Ia sadar, saat itu adalah saat-saat terakhirnya bersama kakak yang sangat ia sayangi dan sangat ia kagumi.
            “Lita sayang.. jagain Mama ya.. kamu harus sering pulang.. uuukkk...” kalimat itu terputus oleh batuk yang disertai darah diujung bibirnya.
            “Sudah kak.. kakak istirahat aja.. jangan dipaksain..” Suasana ceria tadi berubah menjadi haru. Tiada satupun orang diruangan itu yang tidak meneteskan air mata, hanya Juwita, gadis lemah yang terbaring itu tidak mengeluarkan air mata setetespun. Gadis itu malah tersenyum melihat adik dan mamanya. Baginya hal yang paling membuatnya bahagia adalah saat-saat dimana ia berkumpul dengan keluarga kecilnya, walaupun tanpa Papanya yang sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu.
            “Kenapa kalian menangis? Apa kalian menangisiku? Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu kalian tangisi, aku bahagia. Aku bahagia jika kita berkumpul seperti ini, dan jika memang aku harus pergi saat ini, aku akan bahagia telah memiliki Mama terbaik didunia dan adik manis sepertimu Jelita”. Suara Lemah itu membuat suasana dalam ruangan itu bertambah haru.
            Jelita masih menangis disamping kakaknya, terus memegang tangan kakaknya seakan tak akan ia lepaskan lagi. Ia menyimak setiap kata yang keluar dari bibir kakaknya, ia tidak ingin melewatkan satu katapun keluar dari bibir kakaknya. “Jelita sangat menyayangi kakak, maafkan Lita kak, selama ini Lita nakal, Lita juga nggak tahu harus berapa kali Lita harus berterima kasih sama kakak, selama ini kakak selalu menjaga dan membimbing Lita, Kakak segalanya bagi Lita.”, ucap gadis itu akhirnya. Masih. Air mata masih mengalir deras dipipinya. Disambut senyuman kakaknya. Juwita sangat senang mendengar hal itu.
            “Mama...“ Juwita menoleh ke arah Mamanya. Wanita itu mendekat ke ranjang. Menahan tangis yang tentu saja ia tak dapat menahannya lagi walau sekuat apapun ia mencoba menahannya.
            “Maafkan Juwita ma.. Juwita udah nyusahin mama.. Juwita minta maaf ma..”
            “Tidak sayang.. Mama yang harus minta maaf sama Juwita. Mama tidak bisa menjaga kamu. Maafkan mama sayang.”
            “Lita sayang.. jagain mama.. juga jangan lupa dengan kakakmu ini.. walaupun kakak kadang galak,, tapi kakak sangat menyayangimu.. kamu ingatkan.. kakak ingin kamu bisa merangkai bunga dan memberikannya untukku.. tapi sepertinya itu tidak akan terjadi Lita.. uhhukk...” Juwita semakin lemah. Dokter menyarankan untuk beristirahat. Juwita tidak menghiraukan. Ini adalah saat terakhirnya dengan keluarganya.
            “Tidak kak.. kakak masih bisa melihat karangan bungaku kak.. tunggu.. Lita akan buatkan yang terbaik untuk kakak” Gadis manis itu pergi ke taman belakang rumahnya yang sering menjadi tempat bermain dengan kakaknya sewaktu masih kecil dulu. Mencari bunga terbaik yang akan ia rangkai untuk kakaknya.
            “Mama... Juwita sudah tidak kuat ma..” Gadis itu terbatuk-batuk. Darah mengalir lagi.
            “Iya sayang, Mama ikhlas jika Juwita pergi sekarang” Wanita itu menangis disamping anaknya.
            “Sampaikan salam sayangku untuk Lita ma dan terima kasih untuk karangan bunga yang Lita buat untukku, pasti sangat indah.. Juwita sangat menyayangi Mama.. Mataku terasa berat ma, Julita ingin tidur.”
            “Iya sayang, mama akan sampaikan sama Jelita.. Tidurlah sayang.. Mama juga sangat menyayangimu..” Juwita tersenyum medengar kata-kata dari mamanya. Memejamkan mata untuk selama-lamanya. “Juwita sayang..” Mama menangis sejadi-jadinya melihat kepergian anak sulungnya.
            “Kakak.. Lita udah buatin kara....” kata-kata itu terhenti saat gadis itu melihat Mamanya menangis dan  melihat wajah pucat kakaknya. Langsung menghambur memeluk kakaknya yang sudah pergi. “Kenapa kakak pergi.. Lita udah buatin karangan bunga terbaik untuk kakak.. kenapa kakak tidak menunggu sebentar lagi untukku.. bangun kakk...” Lita menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya yang sudah ditinggalkan ruhnya. Jelita menangis tak terkendali lagi. “Bangun kak.. bukankah kakak akan melakukan apapun yang Lita minta?? Lita minta kakak bangun sekarang kak.. Apa kakak tidak mendengar?? Bangun kaaakkk... jangan tinggalin Lita kakk...” Jelita terus menangis melepas kepergian kakak tercintanya. Kakak yang selama ini sangat menyayangi dan selalu melindungi dirinya. Baginya Juwita bukan hanya sekedar kakak baginya, tetapi sahabat terbaik untuknya. Sungguh erat kedekatan mereka. Juwita terus menagis. Membiarkan air asin itu membasahi pipinya.
            Kepergian yang indah. Tidur yang damai dengan senyuman dibibir. Walau hanya tinggal raga. Dia masih terlihat sangat cantik. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar