Sebuah Resensi Mereka Bilang, Saya Monyet!

Label:



Manusia Sudah Tidak Lagi Manusiawi

Judul                        :    Mereka Bilang,
                                      Saya Monyet!
Penulis                      :    Djenar Maesa Ayu
Penerbit                    :    Gramedia Pustaka
                                      Utama
Jumlah halaman        :    150 halaman
Harga Buku              :    Rp 40.000,-

Vulgar, seks, perempuan, bahasa yang straight. Mungkin itu yang akan kita fikirkan jika mendengar tulisan Djenar Maesa Ayu. Djenar Maesa Ayu lahir di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973. Ia lahir dengan darah seni yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Ayahnya bernama Sjuman Djaya adalah seorang sutradara film, sedangkan ibunya bernama Tutie Kirana yang merupakan aktris era 1970-an.
Djenar merupakan salah seorang penulis Indonesia yang cukup terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat kehidupan metropolitan. Tulisannya yang khas dan berani ini membuatnya menjadi salah satu penulis yang patut diberi penghargaan. Karya-karyanya yang selalu membawakan tema seksualitas dengan bahasanya yang straight membuatnya menerima banyak kritik darn berbagai kalangan. Akan tetapi, tulisannya masih sedap untuk dibaca sampai sekarang bahkan sudah beberapa kali dicetak. Kesuksesannya menjadi seorang penulis tidak lain karena ia tetap mempertahankan tuilisannya walaupun ia menerima kecaman dan kritik pedas dari berbagai kalangan hingga banyak pembaca yang kini malah beralih menunggu tulisannya. Bahkan karyanya Mereka Bilang, Saya Monyet ini sudah sampai 8 kali cetak (hebat kan.. ).
Hampir semua novel karya Djenar yang kerap disapa Nai ini merupakan kumpulan cerpen-cerpennya yang sudah dimuat di berbagai majalah dan koran. Mereka Bilang, Saya Monyet merupakan bukunya yang  pertama. Seperti pada bukunya yang lain, buku ini merupakan kumpulan cerpen yang tersdiri dari 11 cerpen Nai, diantaranya Mereka Bilang, Saya Monyet, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla, Wong Asu, Namanya, ..., Asmoro, Manusya dan Dia. Cerpennya yang pertama kali dimuat diberinya judul Lintah yang juga sertakan dalam buku ini.
Dalam kumpulan cerpen karyanya ini, Nai menggambarkan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya dengan berbagai macam binatang, seperti ungkapannya “Seharusnya saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu.” Nai mengisyaratkan bahwa manusia atau tokoh yang dimaksud berwatak seperti binatang yang disebutkannya untuk sang tokoh. Hal ini cukup menarik karena jarang sekali penulis menggunakan kata-kata vulgar dalam tulisan mereka.
Dalam kumpulan cerpennya ini, secara umum Nai mengisahkan tentang seksualitas wanita. Banyak hal yang digamblangkan secara vulgar. Dalam cerpennya Mereka Bilang, Saya Monyet sendiri menceritakan mengenai tokoh saya sebagai tokoh utama yang merupakan seorang lesbian, dibuktikan dengan kalimat khasnya yang berbahasa straight dan vulgar “Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.” Setting yang diambil dalam cerpen ini ialah sebuah diskotik yang ia ceritakan terdapat PSK yang sedang bercinta di salah satu bilik kamar mandi dengan seorang lelaki yng disebutnya dengan Si Kepala Gajah. Kemudian mereka keluar seolah tidak terjadi apa-apa. PSK itu kemudian bergelayutan dengan orang lain di luar kamar mandi. Tabiat tokoh yang dimasukkan dalam cerpen ini pantas dengan julukan yang diberikan Nai. Selain itu kisahnya pun diambil dari realita yang ada di sekitar penulis.
Nai banyak mengisahkan mengenai kemunafikan manusia yang selalu tampak sempurna di mata semua orang, namun ternyata kenyataannya bertolak belakang dengan sifat yang mereka tampakkan. Pada dasarnya semua cerpen pada bukunya inin bertemankan pelecehan seksual pada wanita, baik dari keluarga dan lingkungannya. Namun hal yang sudah menjadi rahasia umum ini begitu tabu untuk dibicarakan. Sehingga Nai menjadikannya sesuatu yang berbeda, yang bernilai seni dan sastra. Sekaligus Nai sendiri ingin membuktikan bahwa hal-hal yang dianggap tabu seperti itu juga perlu untuk dibicarakan, dibahas, dan didiskusikan dalam khalayak umum.
Hal menarik yang saya temui ialah pada judul Manusya dan Dia yang berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya. Cerita ini mengisahkan adanya konflik batin pada tokoh Manusya dengan kehendak Dia sebagai Tuhan yang  selalu berlainan keinginan dengan Manusya. Manusya yang selalu terfikirkan oleh Dia, bahkan komposisi Dia dalam dirinya melebihi komposisinya. Sehingga Manusya ingin melepaskan Dia dari dalam tubuhnya. Dan akhir ceritanya menyiratkan manusia yang semakin menjauh dari agamanya. Hal ini tergambar dalam adegan yang digambarkannya ketika Manusya memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan merasakan Dia ketakutan yang pada akhir ceritanya dituliskan “Lampu-lampu jalan bagai bintang, bagai bulan, bagai kunang-kunang, bagai Dia. Roda mobil manusya terus bergulir, menjauh dari Dia.”
Semua tulisan Djenar yang berbau seks yang sebenarnya kurang bisa saya tangkap secara langsung maknanya. Karena mungkin cerita yang ia ambil berdasarkan hal-hal yang masih dianggap tabu untuk diperbincangkan. Kata-kata berbau seks seperti orgasme dan tindakan seksualitas yang digambarkannya dalam buku ini kurang bisa saya imajinasikan. Sehingga memang membutuhkan kedewasaan untuk membaca karyanya. Sehingga kata-kata yang vulgar, berbau seks yang masih tabu dan sebagian masyarakat termasuk saya yang kurang memahami bahasa seperti itu. Jujur saja, saya harus mendatangkan penerjemah (teman saya) yang dapat membantu saya mengatahui bahasa seks yang terdapat dalam buku ini.
Dibandingkan dengan film yang sudah dirilis sekitar tahun 2007, bukunya lebih menarik. Karena di buku sudah jelas terdapat batasan judul yang membedakan antar cerita. Selain itu ceritanya juga lengkap dan tidak membingungkan pembaca oleh alur yang ada. Sedangkan pada filmnya yang diperankan oleh Titi Sjuman. Saya lebih bingung mengenai alurnya yang tiba-tiba berpindah dan tidak lengkap. Tidak ada kejelasan tokoh yang ada.
Overall, buku ini menarik untuk dibaca karena berbeda dengan yang lainnya seperti tulisan Andrea Hirata, Tere Liye, maupun penulis yang lainnya. Hal ini menjadi ciri khas yang patut untuk dipertahankan sebagai seorang penulis. Mengingat kebebasan berkarya yang sekarang ini diperjuangkan. Dengan bahasanya yang berani menyebutkan kata-kata tabu menjadi biasa. Menghadirkan cerita tentang kehidupan di sekitar kita yang sebenarnya sudah banyak terjadi. Buku ini menginspirasi dan mengingatkan kita betapa manusia sudah tidak lagi manusiawi. Mengumbar kemunafikan yang semakin menghitamkan kehidupannya.

Abstrak Membaca POSSE

Label:



ABSTRAK
APLIKASI MEMBACA POSSE PADA SISWA SEKOLAH DASAR

Alfina Ari Suwanti
(A310120189)

Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta

            Strategi membaca POSSE merupakan salah satu strategi membaca pemahaman dengan menggabungkan proses membaca dengan pembelajaran praktik yang dapat dilakukan pembaca dan peserta didik secara otomatis. Tujuan Penerapan metode membaca POSSE ini ialah agar siswa Sekolah Dasar (SD)  lebih mudah memahami isi teks informasi. Strategi ini dilakukan dengan mengaktifkan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, tetapi juga mendorong siswa untuk mengetahui pengetahuan yang ada pada teks bacaan. Sehingga siswa dapat menggabungkan menggabungkan pengetahuan yang dimiliki dengan pengetahuan yang mereka  peroleh dari bacaan. Metode yang digunakan dalam penerapan strategi membaca POSSE ini terlebih dahulu dilakukan dengan menyediakan lembaran-lembaran yang berisikan panduan dalam strategi ini kemudian menjelaskan cara menggunakannya. Dengan begitu siswa dipermudah dalam mengatur pikiran mereka. Setelah menyiapkan strategi, barulah siswa mulai memprediksi gagasan dengan menggunakan pengetahuan yang telah mereka miliki dengan meneliti petunjuk yang telah ada pada teks. Langkah selanjutnya yaitu organize yaitu mengatur prediksi siswa dengan pikiran mereka dengan menggunakan peta konsep, dengan begitu siswa lebih mudah dalam melakukan langkah berikutnya, yakni search (mencari). Dalam tahap ini, siswa mencari kebenaran atas prediksi yang mereka lakukan sebelumnya dan menemukan gagasan-gagasan utama dalam teks. Langkah selanjutnya yaitu summarise (merangkum/menyimpulkan). Maksudnya yaitu, setelah siswa menemukan gagasan utama dari teks informasi tersebut, siswa dapan menyimpulkan isi/makna/pesan yang disampaikan melalui teks. Tahap yang terakhir yaitu evaluate (evaluasi). Siswa membuat pertanyaan untuk mengembangkan pengetahuan yang mereka dapat. Kemudian  membandingkan peta konsep yang telah mereka buat sebelumnya dengan peta konsep yang mereka buat sebagai bagian dari diskusi. Siswa juga dapat menanyakan kepada guru mengenai kosa kata baru yang terdapat dalam teks bacaan. Setelah melalui tahap-tahap strategi membaca POSSE siswa dapat meringkas bacaan mereka dengan meninjau peta konsep yang telah mereka buat. Dalam menggunakan strategi membaca POSSE ini, guru harus selalu membimbing siswanya unutk melalui setiap tahap yang ada dalam strategi membaca ini agar penerapannya dapat efektif.

Kata Kunci : Strategi Membaca POSSE, tahap membaca POSSE,  memoprediksi, meringkas.

Judul Asli : Membaca POSSE

SINOPSIS NOVEL REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU

Label:



SINOPSIS NOVEL REMBULAN TENGGELAM DI WAJAHMU

            Novel ini menceritakan tentang kisah perjalanan hidup seseorang bernama Rehan Raujana alias Rey. Rehan Raujana adalah nama pemberian dari ibu pantinya yang sudah meninggal dunia. Rehan yang mempunyai lima pertanyaan besar dalam hidupnya yang tak bisa ia jawab. Nah, sejak kecil Rehan tinggal di sebuah panti asuhan yang sangat dibencinya. Di panti itu Rehan termasuk anak yang nakal, ia selalu berontak yang ia sebut sebagai “penjaga panti sok suci”, ia menyebutnya demikian karena kepribadian penjaga pantinya itu memang sok suci. Bagaimana tidak, penjaga pantinya selalu mendapatkan uang dari para dermawan yang seharusnya untuk anak panti, tapi ia menyimpannya untuk tabungan umrohnya. Sudah begitu, si penjaga panti itu juga bersikap kasar kepada semua anak panti. Tapi walaupun Rehan termasuk anak nakal, tapi sebenarnya ia adalah anak yang baik. Selama di panti, Rehan mempunyai pertanyaan besar “Apakah aku tidak memiliki kesempatan untuk memilih pada saat aku dilahirkan?”. Ia suka memandang rembulan, yang seakan mengerti kesedihannya.
Suatu hari, sesuatu terjadi di panti yang menyebabkan Rehan kabur dari panti asuhan itu dan menjadi anak jalanan. Sebelum kabur, ia sempat mencuri di kantor kepala panti dan menemukan sepotong koran lusuh yang menjadi petunjuk penting masa lalunya. Sebagai anak jalanan, ia mengubah namanya menjadi Rey. Rey menjadi preman yang setiap malam tidur di emperan toko di sudut terminal. Uang hasil mencuri dari kantor kepala panti itu ia gunakan untuk berjudi dan mabuk-mabukan. Dan saat ia berjudi dan menang besar, hal itu menjadikan ia mendapatkan masalah besar, ia ditikam oleh beberapa preman yang tidak dikenal. Ia dilarikan ke rumah sakit di ibukota.
            Di ibukota ia mendapatkan kehidupan yang baru. Setelah keluar dari rumah sakit, ia ditampung disebuah rumah yang disebut Rumah Singgah. Di rumah itu ia bertemu dengan anak-anak jalanan lainnya yang mempunyai mimpi-mimpi besar dalam hidupnya. Ia juga berkesempatan untuk sekolah. Rey sebenarnya anak yang pandai, karena itu ia cepat lulus sekolah khusus itu. Setiap malam ia sering naik atap rumah singgah untuk melihat bulan, kebiasaannya melihat bulan belum hilang. Kehidupannya berangsur-angsur membaik, dan ketika suatu saat teman-teman rumah singgah mendapatkan banyak masalah karena Rey, Rey memutuskan untuk pergi dari rumah singgah itu. Ia kembali mempunyai pertanyaan baru “Apakah hidup ini adil?” karena orang yang lemah selalu ditindas.
Semenjak Rey pergi dari Rumah Singgah, Rey mengamen di gerbong-gerbong kereta. Setelah dirasa uangnya cukup untuk menyewa tempat tinggal, ia menyewa sebuah rumah petak yang dekat dengan sungai pembuangan sampah, bau memang, tapi tidak masalah untuk Rey. Di tempat tinggal barunya, terdapat sebuah tower air yang sering ia panjat untuk menyendiri dan melihat rembulan. Walaupun kehidupannya baru, tapi ia tidak lupa dengan jasa teman-temannya di Rumah Singgah. Ia sering mengunjungi Rumah Singgah walaupun sembunyi-sembunyi, ia hanya ingin tahu bagaimana keadaan mereka.
Kehidupannya berubah drastis ketika ia ikut dalam pencurian berlian seribu karat yang ditinggalkan rekan mencurinya di tower air. Rekan mencurinya tertangkap oleh polisi dan sudahdihukum mati. Setelah hukuman mati itu, Rey kembali ke kampung halamannya. Dia bertemu dengan seorang gadis bernama Fitri yang ditemuinya di gerbong makan, ia jatuh cinta pada gadis itu.
Di kampung halamannya, ia bekerja sebagai buruh bangunan yang karena kecerdasannya ia perlahan-lahan naik jabatan menjadi kepala mandor. Ia menjadi mandor yang baik, yang membaur dengan buruh-buruh yang lain. Ia bertemu kembali dengan gadis yang ditemuinya di gerbong kereta. Gadis yang penyayang anak-anak itu teryata juga memiliki perasaan yang sama dengan Rey. Walaupun Rey sempat marah saat ia tahu bahwa gadis yang sangat dicintainya itu adalah seorang wanita yang tidak baik. Pada akhirnya ia menerima keadaan gadis itu karena sangat mencintainya. Kemudian ia menikah, keluarga yang bahagia, ia membeli sebuah rumah kecil di dekat pantau. Istrinya hamil namun keguguran. Kesedihan sempat ada, namun hari berganti dan istrinya hamil lagi. Namun takdir berkata lain, istrinya keguguran lagi. Istrinya juga meninggal waktu itu. Bisa membayangkan betapa sakitnya hati Rey? Karena itu, ia memiliki satu pertanyaan lagi “Mengapa Tuhan tega mengambil milikku satu-satunya?”.
Kesedihannya membuatnya tak sanggup lagi tinggal di rumah yang penuh kenangan dengan istri tercintanya. Rey menjual rumahnya dan pergi ke Ibukota. Ia pergi ke tower air yang sering ia panjat untuk melihat bintang. Ia menemukan berlian yang ditinggalkan rekannya di tower air dan menjadikannya modal untuk membangun sebuah bangunan untuk istrinya yang menjadi awal karir barunya. Ia menjadi seorang pengusaha sukses. Menjadi orang yang kaya. Namun diantara harta yang ia miliki, ia tetap merasa sendiri. Itulah pertanyaannya selanjutnya. “Mengapa aku merasa hampa padahal aku telah memiliki segalanya?”.
Hari berganti, Rey telah berhasih membuat beberapa bangunan. Namun tiba-tiba ia jatuh sakit, sakit parah. Ia mengalami sakit komplikasi, kata dokter karena ia kurang olahraga. Padahal ia selalu menjaga kesehatan, bahkan naik-turun tangga selama ia mengerjakan proyek sudah lebih dari cukup jika dibilang olahraga. Rey harus keluar masuk rumah sakit untuk itu. Dan muncullah pertanyaan terakhir “Mengapa takdir sakit mengungkungku, dan didak langsung mati saja?” karena mungkin dia merasa lebih baik langsung mati saja daripada harus menderita sakit itu.
Disaat ia sakit, Rey diberikan sebuah kesempatan. Kesempatan itu seperti memutar kembali semua kisah hidupnya sejak ia kecil sampai ia jatuh sakit. Dalam kesempatan itu ia didampingi oleh seseorang yang disebut dalam novel ini sebagai “orang berwajah-ramah”. Kesempatan itu diberikan kepadanya hanya karena dia tanpa ia sadari memuji rembulan yang selalu membuatnya merasa tenang, sehingga tanpa ia sadari ia memuji ciptaan Tuhan.
Kesempatan itu menjawab semua pertanyaan besar dalam hidupnya. Yang pada dasarnya  kehidupan adalah sebuah proses sebab akibat. Sesuatu yang kita kerjakan mungkin adalah sebab bagi orang lain. Kehidupan ini saling berkesinambungan. Jangan melihat suatu hal dari satu sisi saja, namun juga dari sisi yang lainnya. Jika kita ditinggalkan oleh seseorang, jangan melihat dari sisi kita sendiri yang ditinggalkan, tapi juga dari sisi orang yang meninggalkan kita. Mungkin orang yang meninggalkan kita akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Berfikir positif terhadap segala hal. Itu adalah pesan yang disamaikan oleh Tere-Liye dalam novel ini. Sangat sederhana namun penuh makna.


           
                  

Karangan Bunga untuk Kakak

Label:



 

  

   “I
jinkan Mama mengirim SMS ini sayang, kau tak harus selalu merasa bersalah, selama ini kau tak pernah memperbolehkan Mama menyuruh adikmu pulang saat kau sakit, biarlah kali ini adikmu pulang nak..”
Meski lemah, gadis itu tetap berusaha mengumpulkan energinya.
“Tapi Ma.. Jelita pasti sedang mengurus proyek barunya. Jelita sangat menginginkan proyek ini. Jika Jelita pulang sekarang....”. Gadis itu terbatuk lagi. Darah segar mengalir di ujung bibirnya. Dia belum menyelesaikan kalimatnya. Perempuan setengah baya disampingnya yang sejak tadi terus meneteskan air matanya membersihkan darah yang keluar dari bibir manis anak sulungnya. Kembali terisak. Dokter yang sejak seminggu yang lalu merawatnya bergegas mendekat dan memeriksa pasiennya. Memintanya untuk beristirahat. Tapi tak dihiraukan.
“Jika Jelita pulang sekarang, itu akan mengacaukan proyeknya. Aku tak ingin mengacaukan itu Ma..” Gadis itu melanjutkan kalimatnya, lemah. Sekali lagi terbatuk. Sekali lagi darah segar itu mengalir di ujung bibirnya jika ia berbicara. Perempuan paruh baya itu perlahan mengelus rambut gadis lemah itu.
“Jelita juga pasti memilih menemuimu sayang. Ijinkan Mama. Dengarkan permintaan Mama mungkin untuk yang terakhir sayang”. Perempuan itu mencium kening anaknya. Penuh kasih. Perlahan gadis itu menganggukkan kepalanya. Menurut. Terpejam. Terlelap.
Dengan gemetar jari itu memencet tombol OK. Berharap pesan itu cepat sampai kepada anak bungsunya.
“Cepatlah pulang nak, kakakmu kesepian, kakakmu sangat merindukanmu. Mungkin ini untuk yang terakhir kali. Pulanglah secepatnya.”
***
            Seorang gadis berdiri di pantai yang berpasir putih, menikmati indahnya ciptaan Sang Maha Pencipta. Menikmati lukisan alam yang sangat ia kagumi. Sesekali ia menghirup udara dan menghembuskannya keras-keras. Terkadang gadis itu melempar kerang-kerang yang ada disekitar kakinya lalu melemparkannya jauh ke tengah laut. Tertawa, senang, riang hatinya seperti tanpa beban. Bukan, ia tersadar bukan untuk liburan ia datang ke pantai itu, ia datang untuk pekerjaannya.
            Gadis manis itu mulai mengeluarkan kamera tua dari tas kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Walaupun gadis itu punya cukup uang untuk membeli kamera baru keluaran terbaru dengan kualitas yang pasti lebih bagus dari kamera tua miliknya, tapi ia urung melakukannya, karena kamera itu adalah satu-satunya peninggalan mendiang papa untuknya. Karena kamera itu, sekarang ia ingin menjadi seorang fotografer profesional. Gadis itu baru bersiap memotret sunset saat seseorang memanggilnya dari belakang.
            “Jelita!! Udah belum fotonya? Kalo udah fotoin gue ya sekali-kali ga papa kan.. “
            “Ogah ah.. mending fotoin monyet dari pada foto kamu!”
            “Ah.. lo gitu sih.. tega ama temen sendiri. Eh pelupa.. lo lupa ga bawa HP kan. Karna gue baik hati nih gue bawain HP lo.”
            “Oh iya.. makasih Venny sayang.. Eh ada sms dari mama nih.. tumben...”
            “Ya buka aja kale.”
            Jelita mendadak cemas setelah membuka sms dari Mamanya. Wajahnya yang tersenyum manis berubah cemas. Gadis manis itu langsung pergi meninggalkan sahabatnya tanpa mengucapkan apapun dan kemudian berlari menyusulnya. “Eh.. Litaaaa!!! Lo mau kemana kok gue ditinggal sih..!!!!” kata Venny kesal.  
            “Aku harus pulang sekarang Ven” jawab Jelita datar.
            “Tapi kenapa lo tiba-tiba pengen pulang, si Luna model cantik yang lagi tenar itu bakal dateng bentar lagi, ini kesempatan besar buat lo Lit”
Jelita menghentikan langkahnya. Menunjukkan pesan singkat dari mamanya. “Coba kamu baca.. udah lama aku ga pulang Ven, aku cemas dengan kakakku, mama ga mungkin sms kaya gitu kalo ga ada apa-apa sama kakakku Ven”. Jelas Jelita akhirnya.
            “Lo beneran yakin mau pulang sekarang Lit?”. Tanya Venny simpati. Jelita menganggukkan kepalanya meyakinkan.
            “Ya udah, gue ngerti, biar nanti gue yang jelasin ke managernya Luna, siapa tau gue boleh gantiin lo untuk sementara.”
            “Makasih Ven, kamu memang sahabatku yang paling baik”. Kedua sahabat itu saling tersenyum.
            “Hati-hati Lit, sampaikan salamku untuk kak Juwita dan tante Rahma, maaf gue ga ikut lo pulang dan ga bisa nganter lo sampai bandara”. Ucap Venny menyesal.
            “Pasti. Ga pa pa kok, sekali lagi makasih Ven”. Gadis itu berlalu meningggalkan sahabatnya. Meninggalkan Venny yang terpaku meliahat sahabatnya pergi.
***
            Jelita bergegas menuju bandara dan berharap segera sampai di rumahnya dimana mama dan kakak yang amat ia sayangi menunggunya.
            “Maaf, penerbangan ke Solo hari ini sudah penuh. Apakah anda menginginkan penerbangan untuk besok pagi?”
            “Benar tidak ada mbak?? Coba tolong cek sekali lagi, saya harus ke Solo hari ini juga. Kelas apapun, berapapun asalkan malam ini juga mbak”. Ucap Jelita setengah memaksa.
            “Baik, tunggu sebentar. Ada satu kursi di kelas ekonomi yang mungkin akan dibatalkan, apakah anda berkenan untuk menunggu konfirmasi dari orang tersebut?”
            “Iya  mbak, usahakan ya mbak. Saya mohon.” Jelita berharap.
Gadis manis itu duduk dengan cermas di kursi tunggu. Pikirannya melayang ke kampung halamannya. Dia memikirkan saat-saat bahagia bersama kakaknya sewaktu ia masih kecil dulu.
            Pagi itu adalah pagi yang cerah, Jelita dan Juwita bermain di taman belakang rumahnya yang cukup luas. Mereka bermain masak-masakan. Mereka menggunakan berbagai macam dedaunan yang ada di sekitar taman tempat mereka bermain.
            “Jelita... jangan petik daun yang itu. Itu tanaman kesayangan mama, nanti kalo mama tahu pasti kita dimarahin mama.”
            “Nggak papa kak, Jelita kan cuma ambil sedikit, mama juga nggak akan tahu, kita nggak akan dimarahi kak.” Si adik tetap ngeyel tidak mau mendengarkan nasihat kakaknya. Dan saat Jelita kecil memetik daun dari tanaman kesayangan mamanya, mamanya datang untuk memberikan minum kepada anak-anaknya.
            “Jelita..!!! kenapa kamu petik daun dari tanaman kesayangan mama?? Itu kan tanaman dari sahabat mama!!” mamanya hampir marah melihat apa yang terjadi dengan tanaman kesayangannya.
            “Ma..maaf ma.. Jelita hanya petik sedikit kok, jangan marahi Jelita ma.” Ucap Jelita terbata. Gadis kecil itu takut. Jelita kecil menangis meminta mamanya tidak marah padanya.
            “Kamu ini sungguh keterlaluan, sudah berapa kali mama bilang...” kata-kata itu terhenti saat Juwita kecil memotong kalimatnya.
            “Ma.. jangan marah sama Jelita Ma, Juwita yang salah daun itu, Juwita yang suruh Jelita petik daun itu buat kita main masak-masakan. Jangan marah sama Juwita ya Ma..”
            Gadis manis itu meneteskan air matanya mengenang kakaknya yang selalu membela dan melindunginya. Bayangan-bayangan masa lalu itu terus berkelibat difikirannya seperti memutar film. Gadis itu menyeka butir bening di ujung mata indahnya. Gadis itu teringat saat ia masih kecil saat ia dan kakaknya bermain di taman belakang rumahnya.
“Kakak.. maafkan Jelita.. Jelita belum bisa cepat sampai rumah.. tunggu Jelita kak.” Ucapnya lirih. Kembali gadis  itu menyeka air matanya.
            “Nona Jelita.” Sebuah suara memanggil namanya. Meyadarkan gadis itu dari lamunannya.
            “Iya. Bagaimana mbak? Apa kursinya kosong? Apa orang itu membatalkan penerbangannya?” Gadis itu bertanya cemas, berharap orang yang dimaksud benar-benar membatalkan penerbangannya.
            “Selamat mbak, orang tersebut membatalkan penerbangannya. Ini tiket untuk anda dan silakan menikmati penerbangan kami.” Perempuan cantik dibalik meja tiket itu tersenyum manis. Membuat lega perasaan Jelita.
            “Terima kasih mbak. Saya sangat berterima kasih” Ucap gadis itu dengan senyum manisnya dan air mata masih membasahi pipinya. Lalu pergi.
            Sepanjang perjalanan Jelita masih memikirkan semua kenangannya bersama kakaknya. Bahkan awanpun serasa membentuk wajah kakaknya. Semua kenangan yang membuatnya selalu meneteskan air mata mengingat betapa kakaknya sangat menyanyanginya dan rela memberikan apapun yang ia miliki untuknya. Gadis manis itu terus menangis hingga ia terlelap, ia terlalu lelah untuk hari ini.
***
            “Apa Juwita tidur lama ma? Apa Jelita akan pulang ma?” Juwita bertanya lirih.
            “Iya sayang, kau tidur nyenyak sekali, tentu saja adikmu akan pulang, tunggu adikmu ya” mama menjawab pelan, tersenyum menatap putri sulungnya, tetap disamping anaknya sejak enam jam setelah ia mengirimkan pesan kepada anak bungsunya.
            “Ma.. Juwita haus..” lirih suara  itu terdengar.
            “Iya sayang, minumlah..” Mama meneteskan air matanya lagi seraya mengambilkan gelas air minum dan meminimkannya kepada anaknya.
            “Terima kasih ma.. Kapan Jelita akan sampai ma?? Juwita takut... uhhuukkk” suara lemah itu tertahan oleh batuk dan darah itu lagi-lagi menetes dari ujung bibir manisnya. Bertambah parah.
            “Tidak ada yang perlu kau takutkan sayang, Adikmu akan datang sebentar lagi..” Mama tak sanggup menahan air matanya yang terus mengalir sejak tadi. Wanita itu cukup lelah karena sudah tiga hari tidak tidur menunggu anak sulungnya yang sakit parah, gadis itu sudah cukup menderita menahan kanker paru-paru sejak lima tahun yang lalu, dan saat ini sudah mencapai stadium IV, bahkan dengan operasi pun belum tentu menolong nyawanya. Sejak dulu Juwita tidak pernah bersedia untuk melakukan operasi. Tiba-tiba bunyi telepon genggam milik wanita paruh baya itu berdering, memecahkan keheningan. Panggilan dari anak bungsunya, Jelita.
            “Ma.. gimana kak Juwita?? Dia baik-baik saja kan?? Jelita usahain cepat sampai rumah.. Jelita baru turun dari pesawat. Tolong bilang sama kak Juwita.. tunggu aku sebentar lagi”. Gadis manis itu berlari menuju tempat taksi dengan air mata terus mengalir dipipinya, ia sangat khawatir jika terlambat bertemu dengan kakaknya.
            “Cepatlah datang sayang,, kakakmu sepertinya bertambah parah.. dia menunggumu. Hati-hati.” Ucap Mama singkat kepada anak bungsunya.. Tut. Sambungan telepon terputus.
            Mama benar-benar tidak tega melihat anaknya yang terbaring lemah dengan alat-alat medis disekelilingnya. Selang infus, selang oksigen. Mama seperti merasakan betapa menderita anak sulungnya dengan berbagai peralatan medis itu. “Ya Allah.. Jika memang kau ambil nyawa anakku, ambillah Ya Allah.. hamba ikhlas.. jangan kau berikan anakku penderitaan seperti ini, jika memang harus menderita, biarlah hamba yang menderita sakit ini Ya Allah”. Tiada henti Mama mendoakan anaknya. Masih. Butiran bening masih terus mengalir dipipi wanita itu. Dokter dan perawat yang menjaga Juwita ikut meneteskan air mata menyaksikan adegan mengharukan dihadapan mereka. Betapa tulus kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Betapa dekat ikatan diantara keluarga kecil itu.
***
            “Ma.. Jelita sudah datang??” suara lemah itu terus menanyakan adik yang teramat disayanginya disaat ia terbangun dari tidurnya.
            “Iya sayang.. adikmu sebentar lagi akan datang.. dia akan segera sampai disini.. di sampingmu..” lembut Mama berkata kepada Juwita.
            Dari luar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah mereka.
            “Itu... adikmu datang sayang..” Mama tersenyum lega. Begitu pula gadis manis yang terbaring lemah itu. Ia senang adiknya yang ia tunggu sejak kemarin akhirnya datang sebelum ia pergi.
            Dari luar Jelita berlari menuju kamar kakaknya. Langkahnya terhenti persis di depan pintu kamar kakaknya. Air mata langsung mengucur deras dipipinya melihat kondisi kakaknya yang terlihat jauh dari sehat. Peralatan medis, selang infus, oksigen disekeliling kakaknya. Dia berjalan lemah dan duduk di samping kakaknya. Menyentuh punggung tangan gadis lemah itu, menciumnya. “Kau sudah datang Lita, kemana saja kau.. pasti kakak mengganggu proyekmu ya.. maafkan kakak sayang..” gadis lemah itu berusaha kuat dan terdengar ceria dihadapan adiknya. Mama hanya melihat dari sudut kamar dan terisak.
            “Tidak kak.. kakak tidak perlu minta maaf.. Lita kan mendapatkan proyek itu lagi lain kali. Lita hanya ingin bertemu dengan kakak” Gadis itu berkata sambil tersedu. Ia tak dapat membendung air matanya didepan kakaknya. Walaupun begitu ia lega karena ia tidak terlambat. Ia sadar, saat itu adalah saat-saat terakhirnya bersama kakak yang sangat ia sayangi dan sangat ia kagumi.
            “Lita sayang.. jagain Mama ya.. kamu harus sering pulang.. uuukkk...” kalimat itu terputus oleh batuk yang disertai darah diujung bibirnya.
            “Sudah kak.. kakak istirahat aja.. jangan dipaksain..” Suasana ceria tadi berubah menjadi haru. Tiada satupun orang diruangan itu yang tidak meneteskan air mata, hanya Juwita, gadis lemah yang terbaring itu tidak mengeluarkan air mata setetespun. Gadis itu malah tersenyum melihat adik dan mamanya. Baginya hal yang paling membuatnya bahagia adalah saat-saat dimana ia berkumpul dengan keluarga kecilnya, walaupun tanpa Papanya yang sudah meninggal sejak tiga tahun yang lalu.
            “Kenapa kalian menangis? Apa kalian menangisiku? Aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu kalian tangisi, aku bahagia. Aku bahagia jika kita berkumpul seperti ini, dan jika memang aku harus pergi saat ini, aku akan bahagia telah memiliki Mama terbaik didunia dan adik manis sepertimu Jelita”. Suara Lemah itu membuat suasana dalam ruangan itu bertambah haru.
            Jelita masih menangis disamping kakaknya, terus memegang tangan kakaknya seakan tak akan ia lepaskan lagi. Ia menyimak setiap kata yang keluar dari bibir kakaknya, ia tidak ingin melewatkan satu katapun keluar dari bibir kakaknya. “Jelita sangat menyayangi kakak, maafkan Lita kak, selama ini Lita nakal, Lita juga nggak tahu harus berapa kali Lita harus berterima kasih sama kakak, selama ini kakak selalu menjaga dan membimbing Lita, Kakak segalanya bagi Lita.”, ucap gadis itu akhirnya. Masih. Air mata masih mengalir deras dipipinya. Disambut senyuman kakaknya. Juwita sangat senang mendengar hal itu.
            “Mama...“ Juwita menoleh ke arah Mamanya. Wanita itu mendekat ke ranjang. Menahan tangis yang tentu saja ia tak dapat menahannya lagi walau sekuat apapun ia mencoba menahannya.
            “Maafkan Juwita ma.. Juwita udah nyusahin mama.. Juwita minta maaf ma..”
            “Tidak sayang.. Mama yang harus minta maaf sama Juwita. Mama tidak bisa menjaga kamu. Maafkan mama sayang.”
            “Lita sayang.. jagain mama.. juga jangan lupa dengan kakakmu ini.. walaupun kakak kadang galak,, tapi kakak sangat menyayangimu.. kamu ingatkan.. kakak ingin kamu bisa merangkai bunga dan memberikannya untukku.. tapi sepertinya itu tidak akan terjadi Lita.. uhhukk...” Juwita semakin lemah. Dokter menyarankan untuk beristirahat. Juwita tidak menghiraukan. Ini adalah saat terakhirnya dengan keluarganya.
            “Tidak kak.. kakak masih bisa melihat karangan bungaku kak.. tunggu.. Lita akan buatkan yang terbaik untuk kakak” Gadis manis itu pergi ke taman belakang rumahnya yang sering menjadi tempat bermain dengan kakaknya sewaktu masih kecil dulu. Mencari bunga terbaik yang akan ia rangkai untuk kakaknya.
            “Mama... Juwita sudah tidak kuat ma..” Gadis itu terbatuk-batuk. Darah mengalir lagi.
            “Iya sayang, Mama ikhlas jika Juwita pergi sekarang” Wanita itu menangis disamping anaknya.
            “Sampaikan salam sayangku untuk Lita ma dan terima kasih untuk karangan bunga yang Lita buat untukku, pasti sangat indah.. Juwita sangat menyayangi Mama.. Mataku terasa berat ma, Julita ingin tidur.”
            “Iya sayang, mama akan sampaikan sama Jelita.. Tidurlah sayang.. Mama juga sangat menyayangimu..” Juwita tersenyum medengar kata-kata dari mamanya. Memejamkan mata untuk selama-lamanya. “Juwita sayang..” Mama menangis sejadi-jadinya melihat kepergian anak sulungnya.
            “Kakak.. Lita udah buatin kara....” kata-kata itu terhenti saat gadis itu melihat Mamanya menangis dan  melihat wajah pucat kakaknya. Langsung menghambur memeluk kakaknya yang sudah pergi. “Kenapa kakak pergi.. Lita udah buatin karangan bunga terbaik untuk kakak.. kenapa kakak tidak menunggu sebentar lagi untukku.. bangun kakk...” Lita menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya yang sudah ditinggalkan ruhnya. Jelita menangis tak terkendali lagi. “Bangun kak.. bukankah kakak akan melakukan apapun yang Lita minta?? Lita minta kakak bangun sekarang kak.. Apa kakak tidak mendengar?? Bangun kaaakkk... jangan tinggalin Lita kakk...” Jelita terus menangis melepas kepergian kakak tercintanya. Kakak yang selama ini sangat menyayangi dan selalu melindungi dirinya. Baginya Juwita bukan hanya sekedar kakak baginya, tetapi sahabat terbaik untuknya. Sungguh erat kedekatan mereka. Juwita terus menagis. Membiarkan air asin itu membasahi pipinya.
            Kepergian yang indah. Tidur yang damai dengan senyuman dibibir. Walau hanya tinggal raga. Dia masih terlihat sangat cantik. :)