Manusia Sudah
Tidak Lagi Manusiawi
Judul : Mereka Bilang,
Saya
Monyet!
Penulis : Djenar Maesa Ayu
Penerbit : Gramedia Pustaka
Utama
Jumlah
halaman : 150 halaman
Harga
Buku : Rp 40.000,-
Vulgar, seks, perempuan, bahasa yang straight. Mungkin itu
yang akan kita fikirkan jika mendengar tulisan Djenar Maesa Ayu. Djenar Maesa
Ayu lahir di Jakarta pada tanggal 14 Januari 1973. Ia lahir dengan darah seni
yang diturunkan oleh kedua orangtuanya. Ayahnya bernama Sjuman Djaya adalah
seorang sutradara film, sedangkan ibunya bernama Tutie Kirana yang merupakan
aktris era 1970-an.
Djenar merupakan salah seorang penulis Indonesia yang cukup
terkenal dengan karya-karyanya yang mengangkat kehidupan metropolitan. Tulisannya
yang khas dan berani ini membuatnya menjadi salah satu penulis yang patut
diberi penghargaan. Karya-karyanya yang selalu membawakan tema seksualitas
dengan bahasanya yang straight membuatnya menerima banyak kritik darn
berbagai kalangan. Akan tetapi, tulisannya masih sedap untuk dibaca sampai
sekarang bahkan sudah beberapa kali dicetak. Kesuksesannya menjadi seorang
penulis tidak lain karena ia tetap mempertahankan tuilisannya walaupun ia
menerima kecaman dan kritik pedas dari berbagai kalangan hingga banyak pembaca
yang kini malah beralih menunggu tulisannya. Bahkan karyanya Mereka Bilang,
Saya Monyet ini sudah sampai 8 kali cetak (hebat kan.. ).
Hampir semua novel karya Djenar yang kerap disapa Nai ini merupakan
kumpulan cerpen-cerpennya yang sudah dimuat di berbagai majalah dan koran. Mereka
Bilang, Saya Monyet merupakan bukunya yang
pertama. Seperti pada bukunya yang lain, buku ini merupakan kumpulan
cerpen yang tersdiri dari 11 cerpen Nai, diantaranya Mereka Bilang, Saya
Monyet, Lintah, Durian, Melukis Jendela, SMS, Menepis Harapan, Waktu Nayla,
Wong Asu, Namanya, ..., Asmoro, Manusya dan Dia. Cerpennya yang pertama
kali dimuat diberinya judul Lintah yang juga sertakan dalam buku ini.
Dalam kumpulan cerpen karyanya ini, Nai menggambarkan tokoh-tokoh
yang ada di dalamnya dengan berbagai macam binatang, seperti ungkapannya “Seharusnya
saya menghajar laki-laki berkepala buaya dan berekor kalajengking itu.” Nai mengisyaratkan
bahwa manusia atau tokoh yang dimaksud berwatak seperti binatang yang
disebutkannya untuk sang tokoh. Hal ini cukup menarik karena jarang sekali
penulis menggunakan kata-kata vulgar dalam tulisan mereka.
Dalam kumpulan cerpennya ini, secara umum Nai mengisahkan tentang seksualitas
wanita. Banyak hal yang digamblangkan secara vulgar. Dalam cerpennya Mereka
Bilang, Saya Monyet sendiri menceritakan mengenai tokoh saya sebagai
tokoh utama yang merupakan seorang lesbian, dibuktikan dengan kalimat khasnya
yang berbahasa straight dan vulgar “Bahkan Si Kepala Anjing juga pernah
mengendus-endus kemaluan saya walaupun kami berkelamin sama.” Setting yang
diambil dalam cerpen ini ialah sebuah diskotik yang ia ceritakan terdapat PSK
yang sedang bercinta di salah satu bilik kamar mandi dengan seorang lelaki yng
disebutnya dengan Si Kepala Gajah. Kemudian mereka keluar seolah tidak terjadi
apa-apa. PSK itu kemudian bergelayutan dengan orang lain di luar kamar mandi. Tabiat
tokoh yang dimasukkan dalam cerpen ini pantas dengan julukan yang diberikan
Nai. Selain itu kisahnya pun diambil dari realita yang ada di sekitar penulis.
Nai banyak mengisahkan mengenai kemunafikan manusia yang selalu
tampak sempurna di mata semua orang, namun ternyata kenyataannya bertolak
belakang dengan sifat yang mereka tampakkan. Pada dasarnya semua cerpen pada
bukunya inin bertemankan pelecehan seksual pada wanita, baik dari keluarga dan
lingkungannya. Namun hal yang sudah menjadi rahasia umum ini begitu tabu untuk
dibicarakan. Sehingga Nai menjadikannya sesuatu yang berbeda, yang bernilai
seni dan sastra. Sekaligus Nai sendiri ingin membuktikan bahwa hal-hal yang
dianggap tabu seperti itu juga perlu untuk dibicarakan, dibahas, dan
didiskusikan dalam khalayak umum.
Hal menarik yang saya temui ialah pada judul Manusya dan Dia yang
berbeda dengan cerita-cerita sebelumnya. Cerita ini mengisahkan adanya konflik
batin pada tokoh Manusya dengan kehendak Dia sebagai Tuhan yang selalu berlainan keinginan dengan Manusya. Manusya
yang selalu terfikirkan oleh Dia, bahkan komposisi Dia dalam dirinya melebihi
komposisinya. Sehingga Manusya ingin melepaskan Dia dari dalam tubuhnya. Dan akhir
ceritanya menyiratkan manusia yang semakin menjauh dari agamanya. Hal ini
tergambar dalam adegan yang digambarkannya ketika Manusya memacu mobilnya
dengan kecepatan tinggi dan merasakan Dia ketakutan yang pada akhir ceritanya
dituliskan “Lampu-lampu jalan bagai bintang, bagai bulan, bagai
kunang-kunang, bagai Dia. Roda mobil manusya terus bergulir, menjauh dari Dia.”
Semua tulisan Djenar yang berbau seks yang sebenarnya kurang bisa
saya tangkap secara langsung maknanya. Karena mungkin cerita yang ia ambil
berdasarkan hal-hal yang masih dianggap tabu untuk diperbincangkan. Kata-kata
berbau seks seperti orgasme dan tindakan seksualitas yang digambarkannya dalam
buku ini kurang bisa saya imajinasikan. Sehingga memang membutuhkan kedewasaan
untuk membaca karyanya. Sehingga kata-kata yang vulgar, berbau seks yang masih
tabu dan sebagian masyarakat termasuk saya yang kurang memahami bahasa seperti
itu. Jujur saja, saya harus mendatangkan penerjemah (teman saya) yang dapat
membantu saya mengatahui bahasa seks yang terdapat dalam buku ini.
Dibandingkan dengan film yang sudah dirilis sekitar tahun 2007,
bukunya lebih menarik. Karena di buku sudah jelas terdapat batasan judul yang
membedakan antar cerita. Selain itu ceritanya juga lengkap dan tidak
membingungkan pembaca oleh alur yang ada. Sedangkan pada filmnya yang
diperankan oleh Titi Sjuman. Saya lebih bingung mengenai alurnya yang tiba-tiba
berpindah dan tidak lengkap. Tidak ada kejelasan tokoh yang ada.
Overall, buku ini
menarik untuk dibaca karena berbeda dengan yang lainnya seperti tulisan Andrea
Hirata, Tere Liye, maupun penulis yang lainnya. Hal ini menjadi ciri khas yang
patut untuk dipertahankan sebagai seorang penulis. Mengingat kebebasan berkarya
yang sekarang ini diperjuangkan. Dengan bahasanya yang berani menyebutkan
kata-kata tabu menjadi biasa. Menghadirkan cerita tentang kehidupan di sekitar
kita yang sebenarnya sudah banyak terjadi. Buku ini menginspirasi dan
mengingatkan kita betapa manusia sudah tidak lagi manusiawi. Mengumbar kemunafikan
yang semakin menghitamkan kehidupannya.
cerita yg lengkap dmna ya ?