“I
|
jinkan Mama mengirim SMS ini sayang, kau
tak harus selalu merasa bersalah, selama ini kau tak pernah memperbolehkan Mama
menyuruh adikmu pulang saat kau sakit, biarlah kali ini adikmu pulang nak..”
Meski lemah, gadis itu
tetap berusaha mengumpulkan energinya.
“Tapi Ma.. Jelita pasti
sedang mengurus proyek barunya. Jelita sangat menginginkan proyek ini. Jika
Jelita pulang sekarang....”. Gadis itu terbatuk lagi. Darah segar mengalir di
ujung bibirnya. Dia belum menyelesaikan kalimatnya. Perempuan setengah baya
disampingnya yang sejak tadi terus meneteskan air matanya membersihkan darah yang
keluar dari bibir manis anak sulungnya. Kembali terisak. Dokter yang sejak
seminggu yang lalu merawatnya bergegas mendekat dan memeriksa pasiennya. Memintanya
untuk beristirahat. Tapi tak dihiraukan.
“Jika Jelita pulang
sekarang, itu akan mengacaukan proyeknya. Aku tak ingin mengacaukan itu Ma..”
Gadis itu melanjutkan kalimatnya, lemah. Sekali lagi terbatuk. Sekali lagi
darah segar itu mengalir di ujung bibirnya jika ia berbicara. Perempuan paruh
baya itu perlahan mengelus rambut gadis lemah itu.
“Jelita juga pasti
memilih menemuimu sayang. Ijinkan Mama. Dengarkan permintaan Mama mungkin untuk
yang terakhir sayang”. Perempuan itu mencium kening anaknya. Penuh kasih.
Perlahan gadis itu menganggukkan kepalanya. Menurut. Terpejam. Terlelap.
Dengan gemetar jari itu
memencet tombol OK. Berharap pesan itu cepat sampai kepada anak bungsunya.
“Cepatlah
pulang nak, kakakmu kesepian, kakakmu sangat merindukanmu. Mungkin ini untuk
yang terakhir kali. Pulanglah secepatnya.”
***
Seorang gadis berdiri di pantai yang berpasir putih,
menikmati indahnya ciptaan Sang Maha Pencipta. Menikmati lukisan alam yang
sangat ia kagumi. Sesekali ia menghirup udara dan menghembuskannya keras-keras.
Terkadang gadis itu melempar kerang-kerang yang ada disekitar kakinya lalu
melemparkannya jauh ke tengah laut. Tertawa, senang, riang hatinya seperti
tanpa beban. Bukan, ia tersadar bukan untuk liburan ia datang ke pantai itu, ia
datang untuk pekerjaannya.
Gadis manis itu mulai mengeluarkan kamera tua dari tas
kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Walaupun gadis itu punya cukup
uang untuk membeli kamera baru keluaran terbaru dengan kualitas yang pasti
lebih bagus dari kamera tua miliknya, tapi ia urung melakukannya, karena kamera
itu adalah satu-satunya peninggalan mendiang papa untuknya. Karena kamera itu,
sekarang ia ingin menjadi seorang fotografer profesional. Gadis itu baru
bersiap memotret sunset saat seseorang memanggilnya dari belakang.
“Jelita!! Udah belum fotonya? Kalo udah fotoin gue ya
sekali-kali ga papa kan.. “
“Ogah ah.. mending fotoin monyet dari pada foto kamu!”
“Ah.. lo gitu sih.. tega ama temen sendiri. Eh pelupa..
lo lupa ga bawa HP kan. Karna gue baik hati nih gue bawain HP lo.”
“Oh iya.. makasih Venny sayang.. Eh ada sms dari mama nih..
tumben...”
“Ya buka aja kale.”
Jelita mendadak cemas setelah membuka sms dari Mamanya.
Wajahnya yang tersenyum manis berubah cemas. Gadis manis itu langsung pergi
meninggalkan sahabatnya tanpa mengucapkan apapun dan kemudian berlari
menyusulnya. “Eh.. Litaaaa!!! Lo mau kemana kok gue ditinggal sih..!!!!” kata
Venny kesal.
“Aku harus pulang sekarang Ven” jawab Jelita datar.
“Tapi kenapa lo tiba-tiba pengen pulang, si Luna model
cantik yang lagi tenar itu bakal dateng bentar lagi, ini kesempatan besar buat
lo Lit”
Jelita menghentikan langkahnya.
Menunjukkan pesan singkat dari mamanya. “Coba kamu baca.. udah lama aku ga
pulang Ven, aku cemas dengan kakakku, mama ga mungkin sms kaya gitu kalo ga ada
apa-apa sama kakakku Ven”. Jelas Jelita akhirnya.
“Lo beneran yakin mau pulang sekarang Lit?”. Tanya Venny
simpati. Jelita menganggukkan kepalanya meyakinkan.
“Ya udah, gue ngerti, biar nanti gue yang jelasin ke
managernya Luna, siapa tau gue boleh gantiin lo untuk sementara.”
“Makasih Ven, kamu memang sahabatku yang paling baik”.
Kedua sahabat itu saling tersenyum.
“Hati-hati Lit, sampaikan salamku untuk kak Juwita dan
tante Rahma, maaf gue ga ikut lo pulang dan ga bisa nganter lo sampai bandara”.
Ucap Venny menyesal.
“Pasti. Ga pa pa kok, sekali lagi makasih Ven”. Gadis itu
berlalu meningggalkan sahabatnya. Meninggalkan Venny yang terpaku meliahat
sahabatnya pergi.
***
Jelita bergegas menuju bandara dan berharap segera sampai
di rumahnya dimana mama dan kakak yang amat ia sayangi menunggunya.
“Maaf, penerbangan ke Solo hari ini sudah penuh. Apakah
anda menginginkan penerbangan untuk besok pagi?”
“Benar tidak ada mbak?? Coba tolong cek sekali lagi, saya
harus ke Solo hari ini juga. Kelas apapun, berapapun asalkan malam ini juga
mbak”. Ucap Jelita setengah memaksa.
“Baik, tunggu sebentar. Ada satu kursi di kelas ekonomi
yang mungkin akan dibatalkan, apakah anda berkenan untuk menunggu konfirmasi
dari orang tersebut?”
“Iya mbak,
usahakan ya mbak. Saya mohon.” Jelita berharap.
Gadis manis itu duduk
dengan cermas di kursi tunggu. Pikirannya melayang ke kampung halamannya. Dia
memikirkan saat-saat bahagia bersama kakaknya sewaktu ia masih kecil dulu.
Pagi itu adalah pagi yang cerah, Jelita dan Juwita
bermain di taman belakang rumahnya yang cukup luas. Mereka bermain
masak-masakan. Mereka menggunakan berbagai macam dedaunan yang ada di sekitar
taman tempat mereka bermain.
“Jelita... jangan petik daun yang itu. Itu tanaman
kesayangan mama, nanti kalo mama tahu pasti kita dimarahin mama.”
“Nggak papa kak, Jelita kan cuma ambil sedikit, mama juga
nggak akan tahu, kita nggak akan dimarahi kak.” Si adik tetap ngeyel tidak mau mendengarkan nasihat
kakaknya. Dan saat Jelita kecil memetik daun dari tanaman kesayangan mamanya,
mamanya datang untuk memberikan minum kepada anak-anaknya.
“Jelita..!!! kenapa kamu petik daun dari tanaman
kesayangan mama?? Itu kan tanaman dari sahabat mama!!” mamanya hampir marah
melihat apa yang terjadi dengan tanaman kesayangannya.
“Ma..maaf ma.. Jelita hanya petik sedikit kok, jangan
marahi Jelita ma.” Ucap Jelita terbata. Gadis kecil itu takut. Jelita kecil
menangis meminta mamanya tidak marah padanya.
“Kamu ini sungguh keterlaluan, sudah berapa kali mama
bilang...” kata-kata itu terhenti saat Juwita kecil memotong kalimatnya.
“Ma.. jangan marah sama Jelita Ma, Juwita yang salah daun
itu, Juwita yang suruh Jelita petik daun itu buat kita main masak-masakan.
Jangan marah sama Juwita ya Ma..”
Gadis
manis itu meneteskan air matanya mengenang kakaknya yang selalu membela dan
melindunginya. Bayangan-bayangan masa lalu itu terus berkelibat difikirannya
seperti memutar film. Gadis itu menyeka butir bening di ujung mata indahnya. Gadis
itu teringat saat ia masih kecil saat ia dan kakaknya bermain di taman belakang
rumahnya.
“Kakak.. maafkan
Jelita.. Jelita belum bisa cepat sampai rumah.. tunggu Jelita kak.” Ucapnya
lirih. Kembali gadis itu menyeka air
matanya.
“Nona Jelita.” Sebuah suara memanggil namanya. Meyadarkan
gadis itu dari lamunannya.
“Iya. Bagaimana mbak? Apa kursinya kosong? Apa orang itu
membatalkan penerbangannya?” Gadis itu bertanya cemas, berharap orang yang
dimaksud benar-benar membatalkan penerbangannya.
“Selamat mbak, orang tersebut membatalkan penerbangannya.
Ini tiket untuk anda dan silakan menikmati penerbangan kami.” Perempuan cantik
dibalik meja tiket itu tersenyum manis. Membuat lega perasaan Jelita.
“Terima kasih mbak. Saya sangat berterima kasih” Ucap
gadis itu dengan senyum manisnya dan air mata masih membasahi pipinya. Lalu pergi.
Sepanjang perjalanan Jelita masih memikirkan semua
kenangannya bersama kakaknya. Bahkan awanpun serasa membentuk wajah kakaknya. Semua
kenangan yang membuatnya selalu meneteskan air mata mengingat betapa kakaknya
sangat menyanyanginya dan rela memberikan apapun yang ia miliki untuknya. Gadis
manis itu terus menangis hingga ia terlelap, ia terlalu lelah untuk hari ini.
***
“Apa Juwita tidur lama ma? Apa Jelita akan pulang ma?”
Juwita bertanya lirih.
“Iya sayang, kau tidur nyenyak sekali, tentu saja adikmu akan
pulang, tunggu adikmu ya” mama menjawab pelan, tersenyum menatap putri
sulungnya, tetap disamping anaknya sejak enam jam setelah ia mengirimkan pesan
kepada anak bungsunya.
“Ma.. Juwita haus..” lirih suara itu terdengar.
“Iya sayang, minumlah..” Mama meneteskan air matanya lagi
seraya mengambilkan gelas air minum dan meminimkannya kepada anaknya.
“Terima kasih ma.. Kapan Jelita akan sampai ma?? Juwita
takut... uhhuukkk” suara lemah itu tertahan oleh batuk dan darah itu lagi-lagi
menetes dari ujung bibir manisnya. Bertambah parah.
“Tidak ada yang perlu kau takutkan sayang, Adikmu akan
datang sebentar lagi..” Mama tak sanggup menahan air matanya yang terus
mengalir sejak tadi. Wanita itu cukup lelah karena sudah tiga hari tidak tidur
menunggu anak sulungnya yang sakit parah, gadis itu sudah cukup menderita
menahan kanker paru-paru sejak lima tahun yang lalu, dan saat ini sudah
mencapai stadium IV, bahkan dengan operasi pun belum tentu menolong nyawanya.
Sejak dulu Juwita tidak pernah bersedia untuk melakukan operasi. Tiba-tiba
bunyi telepon genggam milik wanita paruh baya itu berdering, memecahkan
keheningan. Panggilan dari anak bungsunya, Jelita.
“Ma.. gimana kak Juwita?? Dia baik-baik saja kan?? Jelita
usahain cepat sampai rumah.. Jelita baru turun dari pesawat. Tolong bilang sama
kak Juwita.. tunggu aku sebentar lagi”. Gadis manis itu berlari menuju tempat
taksi dengan air mata terus mengalir dipipinya, ia sangat khawatir jika terlambat
bertemu dengan kakaknya.
“Cepatlah datang sayang,, kakakmu sepertinya bertambah
parah.. dia menunggumu. Hati-hati.” Ucap Mama singkat kepada anak bungsunya.. Tut.
Sambungan telepon terputus.
Mama benar-benar tidak tega melihat anaknya yang
terbaring lemah dengan alat-alat medis disekelilingnya. Selang infus, selang
oksigen. Mama seperti merasakan betapa menderita anak sulungnya dengan berbagai
peralatan medis itu. “Ya Allah.. Jika memang kau ambil nyawa anakku, ambillah
Ya Allah.. hamba ikhlas.. jangan kau berikan anakku penderitaan seperti ini, jika
memang harus menderita, biarlah hamba yang menderita sakit ini Ya Allah”. Tiada
henti Mama mendoakan anaknya. Masih. Butiran bening masih terus mengalir dipipi
wanita itu. Dokter dan perawat yang menjaga Juwita ikut meneteskan air mata menyaksikan
adegan mengharukan dihadapan mereka. Betapa tulus kasih sayang seorang ibu
kepada anaknya. Betapa dekat ikatan diantara keluarga kecil itu.
***
“Ma.. Jelita sudah datang??” suara lemah itu terus
menanyakan adik yang teramat disayanginya disaat ia terbangun dari tidurnya.
“Iya sayang.. adikmu sebentar lagi akan datang.. dia akan
segera sampai disini.. di sampingmu..” lembut Mama berkata kepada Juwita.
Dari luar terdengar suara mobil berhenti di depan rumah
mereka.
“Itu... adikmu datang sayang..” Mama tersenyum lega.
Begitu pula gadis manis yang terbaring lemah itu. Ia senang adiknya yang ia
tunggu sejak kemarin akhirnya datang sebelum ia pergi.
Dari luar Jelita berlari menuju kamar kakaknya.
Langkahnya terhenti persis di depan pintu kamar kakaknya. Air mata langsung
mengucur deras dipipinya melihat kondisi kakaknya yang terlihat jauh dari
sehat. Peralatan medis, selang infus, oksigen disekeliling kakaknya. Dia
berjalan lemah dan duduk di samping kakaknya. Menyentuh punggung tangan gadis
lemah itu, menciumnya. “Kau sudah datang Lita, kemana saja kau.. pasti kakak
mengganggu proyekmu ya.. maafkan kakak sayang..” gadis lemah itu berusaha kuat
dan terdengar ceria dihadapan adiknya. Mama hanya melihat dari sudut kamar dan terisak.
“Tidak kak.. kakak tidak perlu minta maaf.. Lita kan
mendapatkan proyek itu lagi lain kali. Lita hanya ingin bertemu dengan kakak”
Gadis itu berkata sambil tersedu. Ia tak dapat membendung air matanya didepan
kakaknya. Walaupun begitu ia lega karena ia tidak terlambat. Ia sadar, saat itu
adalah saat-saat terakhirnya bersama kakak yang sangat ia sayangi dan sangat ia
kagumi.
“Lita sayang.. jagain Mama ya.. kamu harus sering
pulang.. uuukkk...” kalimat itu terputus oleh batuk yang disertai darah diujung
bibirnya.
“Sudah kak.. kakak istirahat aja.. jangan dipaksain..”
Suasana ceria tadi berubah menjadi haru. Tiada satupun orang diruangan itu yang
tidak meneteskan air mata, hanya Juwita, gadis lemah yang terbaring itu tidak
mengeluarkan air mata setetespun. Gadis itu malah tersenyum melihat adik dan
mamanya. Baginya hal yang paling membuatnya bahagia adalah saat-saat dimana ia
berkumpul dengan keluarga kecilnya, walaupun tanpa Papanya yang sudah meninggal
sejak tiga tahun yang lalu.
“Kenapa kalian menangis? Apa kalian menangisiku? Aku
baik-baik saja, tidak ada yang perlu kalian tangisi, aku bahagia. Aku bahagia
jika kita berkumpul seperti ini, dan jika memang aku harus pergi saat ini, aku
akan bahagia telah memiliki Mama terbaik didunia dan adik manis sepertimu
Jelita”. Suara Lemah itu membuat suasana dalam ruangan itu bertambah haru.
Jelita masih menangis disamping kakaknya, terus memegang
tangan kakaknya seakan tak akan ia lepaskan lagi. Ia menyimak setiap kata yang
keluar dari bibir kakaknya, ia tidak ingin melewatkan satu katapun keluar dari
bibir kakaknya. “Jelita sangat menyayangi kakak, maafkan Lita kak, selama ini
Lita nakal, Lita juga nggak tahu harus berapa kali Lita harus berterima kasih
sama kakak, selama ini kakak selalu menjaga dan membimbing Lita, Kakak
segalanya bagi Lita.”, ucap gadis itu akhirnya. Masih. Air mata masih mengalir
deras dipipinya. Disambut senyuman kakaknya. Juwita sangat senang mendengar hal
itu.
“Mama...“ Juwita menoleh ke arah Mamanya. Wanita itu
mendekat ke ranjang. Menahan tangis yang tentu saja ia tak dapat menahannya
lagi walau sekuat apapun ia mencoba menahannya.
“Maafkan Juwita ma.. Juwita udah nyusahin mama.. Juwita
minta maaf ma..”
“Tidak sayang.. Mama yang harus minta maaf sama Juwita.
Mama tidak bisa menjaga kamu. Maafkan mama sayang.”
“Lita sayang.. jagain mama.. juga jangan lupa dengan
kakakmu ini.. walaupun kakak kadang galak,, tapi kakak sangat menyayangimu..
kamu ingatkan.. kakak ingin kamu bisa merangkai bunga dan memberikannya
untukku.. tapi sepertinya itu tidak akan terjadi Lita.. uhhukk...” Juwita
semakin lemah. Dokter menyarankan untuk beristirahat. Juwita tidak
menghiraukan. Ini adalah saat terakhirnya dengan keluarganya.
“Tidak kak.. kakak masih bisa melihat karangan bungaku
kak.. tunggu.. Lita akan buatkan yang terbaik untuk kakak” Gadis manis itu
pergi ke taman belakang rumahnya yang sering menjadi tempat bermain dengan
kakaknya sewaktu masih kecil dulu. Mencari bunga terbaik yang akan ia rangkai
untuk kakaknya.
“Mama... Juwita sudah tidak kuat ma..” Gadis itu
terbatuk-batuk. Darah mengalir lagi.
“Iya sayang, Mama ikhlas jika Juwita pergi sekarang” Wanita
itu menangis disamping anaknya.
“Sampaikan salam sayangku untuk Lita ma dan terima kasih
untuk karangan bunga yang Lita buat untukku, pasti sangat indah.. Juwita sangat
menyayangi Mama.. Mataku terasa berat ma, Julita ingin tidur.”
“Iya sayang, mama akan sampaikan sama Jelita.. Tidurlah
sayang.. Mama juga sangat menyayangimu..” Juwita tersenyum medengar kata-kata
dari mamanya. Memejamkan mata untuk selama-lamanya. “Juwita sayang..” Mama
menangis sejadi-jadinya melihat kepergian anak sulungnya.
“Kakak.. Lita udah buatin kara....” kata-kata itu
terhenti saat gadis itu melihat Mamanya menangis dan melihat wajah pucat kakaknya. Langsung menghambur
memeluk kakaknya yang sudah pergi. “Kenapa kakak pergi.. Lita udah buatin
karangan bunga terbaik untuk kakak.. kenapa kakak tidak menunggu sebentar lagi
untukku.. bangun kakk...” Lita menggoyang-goyangkan tubuh kakaknya yang sudah
ditinggalkan ruhnya. Jelita menangis tak terkendali lagi. “Bangun kak..
bukankah kakak akan melakukan apapun yang Lita minta?? Lita minta kakak bangun
sekarang kak.. Apa kakak tidak mendengar?? Bangun kaaakkk... jangan tinggalin
Lita kakk...” Jelita terus menangis melepas kepergian kakak tercintanya. Kakak
yang selama ini sangat menyayangi dan selalu melindungi dirinya. Baginya Juwita
bukan hanya sekedar kakak baginya, tetapi sahabat terbaik untuknya. Sungguh
erat kedekatan mereka. Juwita terus menagis. Membiarkan air asin itu membasahi
pipinya.
Kepergian yang indah. Tidur yang damai dengan senyuman
dibibir. Walau hanya tinggal raga. Dia masih terlihat sangat cantik. :)
0 komentar:
Posting Komentar